Indonesia Between The Power Blocs by Mohammad Hatta

       Mohammad Hatta yang dikenal dengan sebutan Bung Hatta merupakan negarawan sekaligus ekonom Indonesia yang menjabat sebagai wakil Presiden Indonesia pertama. "Indonesia Between The Power Blocs" adalah salah satu tulisan Mohammad Hatta yang menjelaskan tentang sejarah politik luar negeri Indonesia, terkait arah kebijakan luar negeri Indonesia di antara Blok Barat dan Blok Timur. Dalam tulisannya, Mohammad Hatta telah menggambarkan bagiamana politik luar negeri Indonesia menghadapi berbagai persaingan Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Kemudian, menjelaskan peran Indonesia sebagai pemerkasa Konferensi Asia-Afrika (1955), hingga membahas perseteruan Indonesia – Belanda terkait Irian Barat.     
        Bung Hatta menyatakan bahwa, Indonesia harus menjadi subjek internasional yang memiliki hak untuk mencapai kemerdekaan sepenuhnya dengan mendayung diantara dua karang. Artinya Indonesia tidak memihak salah satu dari kedua Blok yang berkuasa saat itu. Melalui prinsip bebas aktif, Indonesia berupaya menjalin hubungan baik dengan bangsa lain atas dasar saling menghormati, tanpa memandang ideologi atau bentuk pemerintahannya. Hal ini juga bukan berarti Indonesia ingin menciptakan blok baru untuk mengimbangi Blok Barat dan Blok Timur.
      Bung Hatta menyadari, Indonesia kaya akan sumber daya alam namun terlalu muda sebagai bangsa. Sehingga perlu bantuan material serta intelektual dari dunia luar. Indonesia siap menerima bantuan teknis, material, moral dari negara lain dengan syarat tidak intervensi, tidak mengancam kemerdekaan juga kedaulatan. Kedamaian dalam menjalin persahabatan dengan bangsa lain, ditujukan demi menciptakan bangsa merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur.
      Pancasila sebagai ideology Indonesia, bertahap membentuk perjuangan kebebasan hingga perasaan religius hadir pada sebagian besar penduduk, siap  bekerjasama dengan Barat tanpa enggan menjalin hubungan dengan Timur. Hatta juga memahami kebijakan koeksistensi dan non-interferensi. Sehingga, negara-negara dengan ideologi berbeda dari Indonesia lebih mudah berdampingan, asalkan tidak ikut campur dalam urusan internal lainnya.
        Secara umum orang Indonesia menempatkan iman mereka pada agama yang dasarnya tanggul melawan penyebaran Komunisme. Terlepas dari hal tersebut, situasi ekonomi yang buruk di Indonesia telah memberi peluang bagi penyebaran komunisme agar keinginannya dapat terwujud. Komunisme menyebar di Indonesia bukan karena daya tarik ideologinya, melainkan janji atas kemakmuran rakyatnya.
       Pemerintah telah menjanjikan alokasi lahan untuk pentani. Partai Komunis Indonesia juga berada di garda depan perjuangan untuk membuat Irian Barat kembali ke wilayah Indonesia. Namun ketika kebijakan ekonomi mulai menguntungkan masyarakat, dan Irian Barat telah tergabung dengan Indonesia, Partai Komunis Indonesia akan kehilangan senjata utamanya. Pada saat itulah efek pengekangan agama mulai terasa.
        Pada Peristiwa Madiun September 1948, Indonesia menunjukkan ketegasan mengambil tindakan cepat secra demokratis. Dalam situasi yang didasarkan koeksistensi dan non-intervensi, Moskow kehilangan hak untuk campur tangan dengan tindakan Indonesia terhadap gerakan Komunis di dalam perbatasannya. Dengan demikian, Indonesia berharap dapat meneruskan kegiatan yang konstruktif untuk pengembangan sumber daya secara damai. 
      Bung Hatta menyadari, kebijakan luar negeri bebas aktif Indonesia yang mengarah pada koeksistensi dan non-intervensi, tidak dapat diterima oleh Amerika Serikat. Karena AS melihat dunia hanya terbagi 2, “free world” dan “totalitarian Communist world”. Namun menurut Hatta, Amerika sebagai negara demokratis akan setuju dengan gagasannya bahwa orang lain berhak berbeda pandangan dan tetap demokratis. Hatta berasumsi, perdamaian akan cepat tercapai jika Amerika Serikat dan Soviet Rusia ingin membuat kesepakatan tidak berperang selama 25 tahun ke depan.               Pada Artikel ini tertulis, bahwa dunia yang penuh permusuhan psikologis sulit untuk mewujudkan harapan idealis. Tetapi keputusan realistis dapat menghasilkan perdamaian jangka panjang, sehingga membuat harapan idealis itu dapat terwujud di masa depan.  Amerika Serikat dan Soviet Rusia telah menunjukkan keahlian mereka di bidang pengetahuan dan teknologi. Akan lebih baik jika mereka saling bersaing dan berusaha untuk mengungguli yang lain dalam menciptakan suasana damai di dunia, dengan demikian Indonesia bisa menjadi salah satu yang mendapat keuntungannya. 
          Bung Hatta menilai kebijakan Soviet saat itu lebih dinamis, lebih pintar mengambil hati negara dunia ketiga. Dapat dibuktikan dengan keberhasilan kebijakannya di Timur Tengah, Soviet cenderung lebih memahami psikologi nasional orang Arab, juga mengetahui kebutuhan mereka. Sedangkan AS lebih sulit mendekati negara dunia ketiga, karena dinilai tidak ramah. Ketika membantu suatu negara, AS lebih banyak mengemukakan gagasannya sendiri dan kurang memperhatikan keinginan bangsa lain yang terlibat. Akibatnya bantuan AS tidak membuahkan hasil efektif. Hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat pada dasarnya baik, bangsa Indonesia juga menghargai bantuan AS. Tanggapan publik Indonesia terhadap perlakuan AS yang dikenal tidak ramah, ternyata tidak mempengaruhi hubungan antar keduanya. Namun, masalah Irian Barat telah menjadi satu hal penting yang membuat jarak antara mereka. Sikap netralitas AS ternyata menunjukkan dukungan terhadap Belanda terkait perseteruan Indonesia - Belanda atas Irian Barat.
      Amerika Serikat memiliki power dalam pengaturan NATO dan SEATO untuk menghentikan pengaruh kekuasaan Komunis di Eropa juga di Asia. Namun menurut Hatta, dengan membiarkan Irian Barat sebagai pusat perseteruan antara Indonesia - Belanda dapat membuka peluang Komunisme untuk menyebarkan pengaruhnya  di Indonesia. Klaim Irian Barat adalah klaim nasional yang didukung oleh setiap pihak Indonesia tanpa kecuali, ada pula suara paling menuntut selain suara Presiden Soekarno sendiri, yaitu suara Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga, PKI mampu mengambil hati sebagian penduduk Indonesia yang terus berkembang.
      Amerika Serikat, Belanda dan Australia, takut akan penyebaran komunisme di Asia Tenggara semakin luas. Sebab selama Irian Barat berada di tangan Belanda, Partai Komunis Indonesia melakukan agitasi kekerasan, menggunakan nasionalisme sebagai alasan untuk menentang kolonialisme. Sehingga telah membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk berjuang melawan kolonialisme. Di mata orang Indonesia, kedudukan Belanda atas Irian Barat adalah sisa kolonialisme dan perampasan ilegal terhadap sebagian wilayah Indonesia. 
       Pada umumnya masalah kolonialisme telah memberi bayangan atas hubungan dunia Barat dengan Asia-Afrika,  khususnya Indonesia. Ini bukan berarti bahwa Indonesia akan kembali memihak Barat. Hubungan intelektual dan budayanya dengan dunia Barat terlalu banyak, juga berakar dalam sejarah. Tetapi karena Indonesia sudah muak dengan kebijakan-kebijakan Barat, ia akan membangun hubungan dengan negara lain di Timur, serta akan memperkaya budayanya. 
      Kebijakan luar negeri bebas aktif, melarang Indonesia untuk mendekati satu blok dengan mengorbankan hal lain. Demi menjaga persahabatan dengan bangsa lain, sifat dari hubungan yang terjalin dalam praktiknya akan ditentukan pada setiap kasus terkait kepentingan nasional yang mendominasi. Hatta menyatakan, konflik di Indonesia menakutkan untuk dilihat. Tetapi jika ditinjau kembali, Indonesia tidak berada pada tingkat perang sipil yang dialami Amerika Serikat setelah membebaskan diri dari kontrol Inggris.
     Ruang lingkup tulisan ini mencakup perumusan kebijakan luar negeri Indonesia beserta implementasinya di awal pemerintahan. Dapat dipahami bahwa implementasi kebijakan luar negeri bebas aktif RI dapat disesuaikan dengan kepentingan nasional serta konstelasi politik Internasional saat itu. Jika ditinjau dari teori Hubungan Internasional, gagagsan Hatta yang menginginkan pedamaian dunia saat itu, seperti teori Liberalisme. Dalam teori Liberalisme, cenderung utopis dan optimis dalam mewujudkan perdamaian dunia, sehingga menurut saya hal tersebut bisa menjadi kekurangan sekaligus kelebihan tulisan ini.
        Dapat dilihat dari pernyataan Hatta dalam tulisan ini, AS - Soviet hendaknya membuat keputusan realistis sehingga dapat menghasilkan perdamaian untuk jangka panjang, dan membuat harapan idealis terwujud di masa depan. Hatta juga menyatakan, baiknya mereka berusaha bersaing dan unggul dalam menciptakan perdamaian dunia. Namun kenyataannya hal itu sulit terjadi, sehingga menurut saya itu menjadi kekurangannya. Karena apa yang digagas Hatta sulit direalisasikan, serta tidak memungkinkan keadaan pada saat itu. 
         Di sisi lain, prinsip bebas aktif yang digagas Hatta menjadi suatu kelebihannya. Karena dari situ, Indonesia terlihat begitu optimis dan menunjukkan cita-citanya untuk mewujudkan perdamaian dunia. Atau minimal meredakan Perang Dingin antara kedua blok berkuasa saat itu. Semangat Indonesia sebagai negara baru juga berhasil disegani di ranah Internasional karena tegas dalam mengambil sikap. 
     Tulisan ini mampu mengungkap arah kebijakan luar negeri Indonesia dengan jelas. Menurut penulis, prinsip bebas aktif yang dipelopori Mohammad Hatta merupakan hal luar biasa. Karena dengan prinsip bebas aktif, Indonesia bisa mengambil tindakan sesuai kepentingan nasionalnya. Artinya, Indonesia sebagai negara baru tidak memihak Blok Barat maupun Blok Timur, juga aktif dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional. Meskipun akhirnya dalam tulisan ini menunjukkan, kebijakan Indonesia pada masa itu lebih condong ke Timur karena beberapa alasan, yang masih terkait dengan kepentingan nasional.
         Melalui bahasa yang cukup mudah dipahami, menurut saya tulisan ini dapat direkomendasikan sebagai salah satu bacaan, untuk mengetahui sejarah politik luar negeri Indonesia. Adapun signifikansi terhadap Politik Luar Negeri RI, dengan melihat kembali sejarah politik luar negeri bebas aktif dapat memudahkan kita menganalisa arah kebijakan luar negeri Indonesia saat ini. Sehingga kita dapat membandingkan dan menilainya.
       Berdasarkan penjelasan dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa, tulisan ini memiliki relevansi dengan studi Politik Luar Negeri RI. Melalui pendekatan sejarah politik, studi ini menganalisis perubahan-perubahan ideologis dan paradigmatic yang terjadi dalam Politik Luar Negeri Indonesia setelah kemerdekaan sampai sekarang. Berbagai faktor seperti kepemimpinan nasional, kepentingan nasional, ideology negara, konstelasi politik domestic, sistem internasional serta hadirnya isu-isu global menjadikan politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan. Sehingga tulisan ini bisa menjadi salah satu acuan dalam studi Politik Luar Negeri RI, dan berkontribusi terhadap kebijakan luar negeri bebas aktif Indonesia.   

Comments